Raden Arya Wiryaatmaja
Raden Arya Wiryaatmaja(1879 - 1907 M)
Raden Arya Wiryaatmaja adalah Patih Kabupaten Purwokerto. Namanya terus berkibar dan bersinar, sehingga dikenang orang hingga jaman kita sekarang ini. Dia adalah seorang tokoh dengan menyandang banyak nama pujian. Seorang perintis, pelopor, pembaharu, birokrat professional, sampai seorang budayawan dengan kualitas pujangga. Namun di antara nama besar yang disandangnya, Patih Kabupaten Purwokerto di penghujung abad ke-19 M dan di awal abad ke-20 M itu, sangat termashur sebagai perintis lumbung desa, rumah gadai, dan Bank Perkreditan Rakyat di daerah Lembah Serayu, Banyumas.
Kepeloporannya dalam perintisan Bank Rakyat, menyebabkan sosok Patih Kabupaten Purwokerto itu, diabadikan dalam bentuk patung di samping Gedung Musium Bank Rakyat Indonesia di Kota Purwokerto. Memang Bank Rakyat yang dirintis Patih Raden Arya Wiryaatmaja bersama-sama Wakil Residen Banyumas pada tahun 1895 M itu, menjadi cikal bakal Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang sekarang telah menjadi salah satu bank dengan asset papan atas dari bank-bank BUMN yang beroperasi di tanah air kita. Tahun 2014 total asset BRI mampu menembus angka Rp778 triyun.
Kisah Patih Raden Arya Wiryaatmaja menjadi perintis berdirinya Bank Rakyat di Purwokerto itu sangat populer sehingga nyaris telah menjadi semacam legenda yang dengan mudah diingat oleh memori publik.
Alkisah pada suatu ketika pada tahun 1894, Patih Arya Wiryaatmaja menghadiri undangan pesta khitanan seorang guru. Tentu bagi guru tersebut merupakan suatu kehormatan besar, bisa didatangi oleh Kanjeng Patih. Tidak disebutkan apakah Sang Bupati Kanjeng Purwokerto juga diundang dan hadir dalam acara hajatan anak lelaki kesayangan guru tersebut.
Tetapi yang membuat Sang Patih terhenyak dan bertanya-tanya selama hadir dalam acara itu adalah dari mana guru itu memperoleh biaya untuk bisa menyelenggarakan pesta yang begitu meriah? Gajih seorang guru gubernemen pada saat itu hanyalah sekitar 75 gulden/bulan. Sedang gajih seorang mantri guru sekitar 150 gulden per bulan.
Penasaran dengan teka-teki itu, Sang Patih mencoba melakukan penyelidikan. Beberapa hari setelah selesai hajatan, guru tadi dipanggil. Ternyata hasil investigasi Sang Patih membuat dirinya terhenyak. Guru itu ternyata mendapatkan beaya untuk menyelenggarakan perayaan hajatan dengan cara meminjam kepada seorang rentenir China dengan bunga sangat tinggi. Sang Patih pun menduga pastilah banyak para pegawai gubernemen yang terjerat menjadi mangsa lintah darat sehingga bernasib malang seperti guru itu.
Akhirnya Sang Patih memberikan solusi. Ditawarkannya pinjaman dengan bunga rendah guna melunasi hutang guru tersebut. Jangka waktu pelunasannya pun cukup panjang, yakni 20 bulan, sehingga cicilan bulanannya sangat ringan dan terjangkau oleh kemampuan gajih sang guru.
Dengan senang hati guru itu menyutujui tawaran Sang Patih. Patih Wirjaatmadja pun menggunakan uang pribadinya untuk melunasi hutang guru tersebut, sehingga hutangnya beralih kepada Sang Patih. Dengan uluran tangan ini, guru itu pun terbebas dari jeratan rentenir.
Patih Wirjaatmaadja menduga tidak hanya guru tersebut yang terjerat hutang rentenir dan Sang Patih yang berhati mulia itu berniat tidak ingin hanya menolong guru itu saja. Memang setelah melakukan penelitian secara seksama, terlihat fakta memprihatinkan. Banyak di antara pejabat pangreh praja dan pegawai negeri Pribumi terlibat hutang dengan bunga tinggi dan menghadapi kesulitan dalam pengangsurannya.
Kebetulan Sang Patih adalah aktivis masjid. Dia dikenal sebagai ahli keuangan yang cakap. Maka Patih Wirjaatmadja pun mendapat kepercayaan untuk mengelola uang kas masjid dengan jumlah mencapai 4000 gulden. Bayangkan, gajih seorang bupati saat itu sekitar 1000 gulden. Dengan gambaran itu, dapat disimpulkan bahwa masjid yang dikelola Sang Patih itu cukup makmur.
Dengan terlebih dahulu minta ijin atasannya, Patih Wirjaatmadja memperluas penggunaan kas masjid itu untuk dipinjamkan kepada para pegawai negeri, para petani, dan tukang yang terjerat hutang. Selanjutnya untuk menampung angsuran dari para peminjam uang kas masjid itu, Patih Wirjaatmadja membentuk lembaga semacam bank yang diberi nama " DE POERWOKERTOSCHE HULPEN SPAARBANK DER INLANDSCHE HOOFDEN " (Bank Bantuan dan Simpanan Milik Pribumi Purwokerto).
Dengan demikian gagasan Patih Wirjaatmadja menggunakan dana talangan uang pribadi dan kas masjid untuk dipinjamkan dengan angsuran bunga ringan tersebut, pelan-pelan berkembang menjadi aktivitas semacam kegiatan perbankan. Yakni aktivitas membantu pembiayaan bagi rakyat pribumi yang memerlukannya. Secara tidak sadar, Sang Patih telah mengawali dan merintis kegiatan awal "Bank Perkreditan Rakyat"Hindia Belanda.
Atasan Sang Patih yang khawatir penggunaan uang kas masjid akan menimbulkan protes dari para ulama dan pemuka agama daerah Banyumas, misalnya dengan alasan uang kas masjid hanya boleh digunakan untuk kepentingan masjid, dengan cekatan segera turun tangan. Dikeluarkan Surat Perintah tanggal 21 April 1894 agar Sang Patih secepatnya mengembalikan uang kas masjid tersebut.
Namun atasan Sang Patih, seorang Belanda yang memiliki pandangan maju yang telah terpengaruh gagasan dan ide-ide pencerahan. Dia dapat memahami maksud dan tujuan baik Sang Patih, kecakapan dan juga kejujurannya, sehingga dia segera turun tangan untuk menyelamatkan proyek rintisan Sang Patih. Akhirnya setelah konsultasi dengan Tuan Residen, dia menyebarkan surat edaran untuk mengumpulkan "dana penolong" guna menyelamatkan proyek Sang Patih. Ternyata surat edaran itu mendapat sambutan luar biasa. Bukan hanya kaum birokrat pribumi saja yang berpartisipasi. Orang Eropa yang duduk dalam Pemerintahan Hindia Belanda, banyak juga yang ikut berpartisipasi. Akhirnya dalam waktu singkat dapat terkumpullah dana lebih dari 4000 gulden.
Dana itu segera digunakan untuk mengembalikan kas masjid. Kemudian sisa dana yang terkumpul dari masyarakat Purwokerto itu, termasuk sumbangan orang-orang Eropa, dimanfaatkan untuk meneruskan "kegiatan bank" yang telah dirintis oleh Patih Wirjaatmadja. Dengan modal dana itu, ditambah uang hasil angsuran para peminjam uang kas masjid, maka pada tanggal 16 Desember 1895, didirikanlah secara resmi bank perkreditan rakyat pertama di Hindia Belanda dengan nama :
" HULP EN SPAARBANK DER INLANDSCHE BESTUURS AMBTENAREN " (Bank Bantuan dan Simpinan Milik Pegawai Pangreh Praja Berkebangsaan Pribumi).
Bank tersebut kemudian berkembang manjadi cikal bakal Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan tanggal 16 Desember 1895 dijadikan sebagai hari kelahiran BRI. Atas jasa-jasanya tersebut di atas, maka Patih Wirjaatmadja dikenal sebagai "Bapak Perkreditan Rakyat". Tanggal 16 Desember 2015 ini, genap BRI berusia 120 tahun. Dirgayahu 120 tahun BRI, yang dilahirkan hasil kreatifitas Wong Banyumas tempo doeloe, Raden Arya Wiryaatmaja, Patih Kabupaten Purwokerto.
Demikianlah Patih Raden Arya Wiryaatmaja, dikenang dengan manis setiap tanggal 16 Desember, sebagai perintis dan pionir bank perkreditan rakyat. Patih Wirjaatmadja memasuki masa pensiun setelah selama lebih dari 50 tahun menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada pemerintah secara patuh dan jujur. Pada usia enam puluh tahun dia dianugrahi sebutan "Rangga" dan kemudian "Raden Arya".
Sedangkan di kalangan masyarakat luas ia dikenal dengan sebutan "Kyai Patih". Dalam perkembangan selanjutnya, berkat jasa-jasa Patih Wirjaatdadja di bidang perkoperasian, pada tahun 1989 Patih Raden Arya Wiryaatmaja mendapat penghargaan "HATTA NUGRAHA" dari DEKOPIN besama-sama dengan tokoh koperasi lainnya yaitu Margono Djojohadikoesoemo.
Namun sebenarnya, ada bakat dan sumbangan Patih Raden Arya Wiryaatmaja yang mulai dilupakan orang Banyumas, yakni Patih Raden Arya Wiryaatmaja sebagai perintis penyusun kitab Babad Banyumas, yang kemudian menjadi dasar bagi penyusunan kitab Babad Banyumas yang lain.
Bagaimana sih ceriteranya, sehingga patih yang menaruh perhatian besar kepada soal-soal ekonomi, keuangan dan kesejahteraan rakyat itu, tiba-tiba bisa terlibat dalam proses kepujanggaan?
Banyak orang menduga, penulisan Babad Banyumas yang dilakukan Wiryaatmaja hanyalah suatu peristiwa insidental saja. Atau peristiwa tidak sengaja. Tetapi kalau dilihat dari jalur leluhurnya, ternyata pada diri Patih Raden Arya Wiryaatmaja mengalir juga darah penggemar dan peminat sastra babad dan sastra Jawa. Istri Wiryaatmaja berasal dari lingkungan Kraton Surakarta, suatu lingkungan yang tidak pernah asing dengan sastra babad dan fungsi sastra babad sebagai pelestari sekaligus pencipta mitos pada kerajaan-kerajaan Jawa dengan sistem kekuasaan tradisional.
Ayah Raden Wiryaatmaja adalah seorang Demang dari Ayah-Adireja dengan pangkat ngabehi, yakni Raden Ngabehi Dipadiwirya. Sedang istri Wiryaatmaja, adalah anak dari Mas Ngabehi Kertajaya, seorang demang di Adireja yang punya hubungan kekerabatan dengan Kraton Surakarta. Dari garis keturunan istrinya, sudah jelas Wiryaatmaja, cukup akrab dengan sastra babad, terutama Babad Tanah Jawi koleksi ayahnya maupun keluarga istrinya.
Akan tetapi dalam usianya yang panjang, pengaruh sastra babad dan sastra mitos dari keluarganya, tidak menjadikan Patih Raden Wiryaatmaja tenggelam ke dalam logika mistik. Sebab, Wiryaatmaja dalam perjalanan karirnya, lebih banyak berada dibawah asuhan atasannya yang sebagian besar adalah orang-orang Belanda. Orang-orang Belanda atasan Wiryaatmaja itulah yang telah mendidiknya sebagai seorang punggawa atau birokrat berpikiran maju dengan logika rasional.
Wiryaatmaja sendiri lahir pada bulan Agustus 1831, bertepatan dengan proses pembentukan Karesidenan Banyumas, sesudah daerah mancanegara barat dari Kraton Surakarta itu diambil alih Pemerintah Hindia Belanda sebagai ganti ongkos memadamkan Perang Diponegoro ( 1825 – 1830 M), yang berakhir dengan kemenangan Belanda dengan koalisinya. Pada usia 21 tahun, Wiryaatmaja diangkat menjadi juru tulis seorang controlir Belanda di Banjar. Tiga tahun kemudian dia diangkat jadi mantri polisi di Bawang distrik Singamerta. Karirnya terus menanjak, sehingga tahun 1873, dia sudah menduduki jabatan kursi wedana asal istrinya, yakni Wedana Adireja, setelah sebelumnya selama tujuh tahun jadi Wakil Wedana Batur. Tahun 1875 dia dipindahkan menjadi Wedana Banyumas. Tetapi empat tahun kemudian, tahun 1879 M, Wiryaatmaja sudah menduduki jabatan puncak, yakni diangkat Pemerintah Hindia Belanda sebagai Patih Kabupaten Purwokerto ( 1879 - 1907 M).
Sumbangan Patih Raden Wiryaatmaja di dunia sastra babad, dilakukannya pada tahun 1898 M, ditengah-tengah kesibukannya sebagai seorang patih, pengurus masjid dan pengawas proyek perkreditan rakyat yang dirintisnya. Di tengah-tengah hingar bingar kesibukannya sebagai punggawa kadipaten, ternyata Sang Patih masih bisa menyempatkan diri menulis sebuah kitab Babad Banyumas, yang ditulisnya atas perintah tuan wakil Residen Banyumas.
Karya Babad Banyumas tulisan Raden Arya Wiryaatmaja, telah diteliti oleh Prof.Dr.Sugeng Priyadi,M.Hum, dan dinilai sebagai suatu karya rintisan sastra Babad Banyumas yang kemudian berkembang menjadi karya tradisi besar atau arus utama sastra babad daerah Banyumas.
Perlu dicacat, Patih Raden Arya Wiryaatmaja, telah menulis kitab sastra babadnya, sesuai dengan watak pribadinya yang kuat, jujur, dan hati-hati. Padahal sebagai seorang penulis sastra babad, dia punya kebebasan sepenuhnya untuk menuliskan semua gagasannya dan semua yang dipikirkannya. Ternyata ketika dia harus menceriterakan berdirinya Kabupaten Banyumas, dia bertindak dengan jujur, sehingga karena kejujurannya itu dia tidak pernah mau melakukan rekonstruksi kapan tahun berdirinya Kabupaten Banyumas. Ada kesalahan kecil ditemukan Sugeng Priyadi, yakni jumlah nama Bupati Banyumas Yudanegara. Tetapi kesalahan yang demikian masih dalam batas yang sangat wajar, mengingat sastra babad bukan sepenuhnya kitab sejarah dalam pengertian historiografi modern. Namun secara kesuluruhan Babad Banyumas karya Wiryaatmaja itu cukup berbobot, ditulis dengan mengacu pada kitab Babad Tanah Jawi, dan penyelidikan empiris dengan melakukan serangkaian wawancara dan tanya jawab secara tradisional dan sambil lalu. Tetapi memenuhi kaidah metode ilmiyah sederhana.
Dalam menulis kitab babadnya, Patih Raden Wiryaatmaja yang cerdas itu, rupanya tidak mau terjebak dalam suatu rekonstruksi historografi sejarah yang tidak dikuasainya. Tugasnya sebagai seorang penulis sastra babad, hanyalah memotivasi, melakukan rintisan dan meletakan landasan, dasar dan fondasi bagi penulisan Babad Banyumas yang lebih mendekati fakta sejarah. Generasi peneruslah yang dia harapkan mampu melakukan rekonstruksi ilmiyah kapan Kabupaten Banyumas didirikan.
Memang sebuah fenomena yang aneh, jika Pemerintah Hindia Belanda lebih mempercayai Patih Wiryaatmaja untuk menuliskan kitab Babad Banyumas yang oleh Sugeng Priyadi disebut Babad Banyumas versi Wiryaatmajan. Padahal Patih Wiryaatmaja bukan Patih Kabupaten Banyumas. Tapi Patih Kabupaten Purwokerto. Rupanya sikap santun, jujur, berintegritas, dan tidak pernah memandang rendah karya penulis babad sebelumnya, yakni Kanjeng Purwokerto yang menulis lebih dulu ( 1889). Patih Raden Arya Wiryaatmaja tidak pernah memandangnya karya lain dengan sebelah mata dan tidak pula pernah menganggap karya orang lain sebagai karya sampah. Semua itu menyebabkan Pemerintah Hindia Belanda lebih menghargai Babad Banyumas Karya Patih Raden Wiryaatmaja.
Nampaknya memang Babad Banyumas karya Patih Wiryaatmaja lebih memiliki bobot tersendiri dan lebih memiliki obyaktivitas tinggi. Hal ini bisa jadi karena Patih Arya Wiryaatmaja tidak memiliki konflik kepentingan untuk memuja Adipati Mrapat Joko Kahiman sebagai tokoh legenda. Patih Wiryaatmaja yang terdidik secara Barat itu, berusaha menempatkan Sang Adipati Mrapat sebagai tokoh sejarah, sebagaimana diajarkan para mentornya orang-orang Belanda yang telah memiliki tradisi berpikir ilmiyah rasional, dan menjauhkan diri dari tradisi logika mistik yang bersifat subyektik dan personal. Barang kali inilah warisan terbesar Patih Wiryaatmaja. Tradisi berpikiri rasional. Sungguh sayang sekali, jika warisan tradisi itu dilupakan oleh orang-orang Banyumas.
Sumber : www.kompasiana.com