#SejarahMasaPendudukanJepang



Peristiwa penyerangan Jepang terhadap Pearl Harbour merupakan titik penting dimana kemudian pemerintah Belanda kemudian melalui Gubernur Jenderal Tjarda van Starckenborgh Stachouwer mengumumkan perang terhadap Jepang. Setelah Pearl harbour kemudian Jepang juga menenggelamkan “Princh of Wales” kapal induk milik Inggris di laut Cina Selatan dan menguasai semenanjung Malaya dalam sehari. Sungguh peristiwa itu membuat pemerintah Belanda, masyarakat Eropa dan masyarakat Indonesia menjadi sangat khawatir, karena tinggal selangkah lagi Jepang masuk ke Hindia Belanda. Bala bantuan sekutu mulai datang dari Australia di Cilacap, karena disana satu-satunya kota yang memiliki pelabuhan di selatan pulau Jawa. Pasukan Australia yang mendarat di Cilacap ditempatkan di Purwokerto. Dan arsip-arsip penting milik pemerintah Belanda dan perusahaan-perusahaan dagang ditempatkan di beberapa gedung di Cilacap, Purwokerto, Sokaraja dan Purbalingga. Orang-orang Eropa dari segala penjuru kota-kota besar datang ke Purwokerto yang dekat dengan Cilacap untuk mengungsi. Sepanjang jalan kota Purwokerto penuh dengan mobil-mobil milik orang-orang Eropa yang sebagian besar merupakan orang - orang Belanda.

Residen J.W.A. Boots yang menjabat waktu itu juga mengungsikan keluarganya di sebuah rumah dokter Zending dengan tujuan untuk berlindung dibawah Palang Merah. Kekhawatiran residen Boots ini dipicu oleh sebuah kabar yang menginformasikan kekacauan di Tegal dan Pekalongan akibat munculnya desas desus terlihatnya kapan-kapal tentara Jepang di pantai utara pulau Jawa. 5 Maret 1942 terjadi kekacauan di kota Purwokerto setelah militer berusaha untuk mengamankan sebuah gudang beras di dekat stasiun Bantarsoka dan persediaan bahan bakar dan minyak tanah di gedung bekas pabrik gula Purwokerto dan pabrik gula Kalibagor. Namun karena kepanikan akhirnya masyarakat yang kelaparan kemudian menjarahnya. Di sisi lain pengungsi dari daerah Semarang, Magelang, Solo dan Jogja juga datang ke Purwokerto, mereka meninggalkan mobil-mobil mereka di jalan-jalan besar untuk pergi ke Cilacap atau ke Bandung dengan cepat. Dua hari kemudian Purwokerto kembali kacau karena ternyata kota dan pelabuhan Cilacap telah diserang habis-habisan oleh jepang. Masyarakat sipil dan orang-orang Eropa datang kembali ke Purwokerto. Mereka menganggap bahwa kota Purwokerto masih relatif lebih aman dari Cilacap, meskipun sebenarnya beberapa gudang terlihat terbakar.

8 Maret 1942 pagi sebuah pesawat Jepang telah berputar-putar diatas kota Purwokerto sambil menyebarkan selebaran-selebaran propaganda yang mengatakan bahwa bangsa Jepang akan datang untuk menolong bangsa Indonesia. Masyarakat pun mulai bingungdengan yang terjadi akan berpihak pada Belanda yang selama ini memerintah mereka atau berpihak kepada Jepang yang kelak akan menolong mereka dari penjajahan. Kaum intelektual dan pegawai kabupaten telah berkumpul untuk mendengarkan siaran Radio yang pada masa itu merupakan barang mahal dan satu-satunya media mengenai informasi beritaperkembangan di pemerintahan pusat Batavia (Jakarta). Pada hari yang sama juga melalui siaran radio pidato oleh letnan Ter Poorten bahwa pemerintah dan tentara pertahanan Hindia Belanda telah menyatakan menyerah tanpa syarat apapun kepada pihak Jepang dengan diakhiri dengan pemutaran lagu kebangsaaan Belanda Wilhelmus. Disisi lain tentara Jepang hari itu melalui telepon dari kabupaten Purbalingga bahwa Jepang telah menguasai Purbalingga dan dari arah Sumpyuh pasukan Jepang yang lain telah masuk ke Banyumas melewati Buntu. Sesuai dengan resolusi Genewa, Bupati Sudjiman Mertadiredja Gandasoebrata kemudian membentuk panitia kecil untuk menyambut tentra Jepang yang diketuai oleh patih R. Kabul Prawiradirja, sekertaris Muhammad Mulyo, mantri kabupaten M. Sudarmadi dan beberapa pegawai praja. Tentara Jepang datang pada pukul 10 malam ke pendopo kabupaten dengan disambut oleh ketua panitia, bupati dan residen. Hotel SDS (sekarang kantor DAOP V) adalah saksi bisu serah terima daerah Banyumas kepada Jepang, dimana pihak daerah Karesidenan Banyumas dan Pekalongan dibawah pemerintahan Kolonel Sato dengan dibantu oleh komandan militer Mayor Yosi dan kepala Polisi tentara adalah Letenant kelas 1 Kato.

Pasukan Belanda yang melakukan bumi hangus dan perusakan jembatan-jembatan sepanjang sungai Serayu akhirnya menyerah dan di mobilisasi oleh Jepang ke Cilacap, sedangkan tentara Australia yang baru didatangkan ke Purwokerto segera di internir di gedung MULO (SMA 2 Purwokerto). Baru akhir bulan Maret 1942 orang-orang Belanda dan Indo di internir di Broederschool (Bruderan) termasuk diantaranya adalah residen Boots dan asisten residen Purwokerto de Klerk. Berturut-turut kemudian datang petinggi Jepang bernama Leutenant Kolonel Horie mengumpulkan seluruh pegawai Negeri hingga asisten Wedana seluruh karesidenan Banyumas didatangkan untuk mendapatkan penjelasan bahwa pemerintah Jepang secepatnya akan membuat pemerintahan sipil dengan pusat di kota Bandung. Selanjutnya terbit juga undang-undang Balatentara Jepang yang disebut sebagai Osamu Seirei yang mengawali berjalannya kembali fungsi pemerintahan seperti sebelumnya. Istilah-istilah pemerintahan yang berlaku di masa Hindia Belanda diganti dengan istilah Jepang. Karesidenan menjadi Syu yang dipimpin oleh Syutyo, kabupaten diganti menjadi Ken dan bupati memakai istilah Kentyo, Regenstschapraad di ganti sebuah kantor yang dipimpin oleh Syutyokan yang bekerja langsung dibawah Saikosikikan. Kawedanan menjadi Gun, Onder Distrik atau kecamatan menjadi Son dan Ku menggantikan Desa atau kelurahan. Pemerintah Jepang juga memperkenalkan Tonarigumi dan Azzazyokai yang pada awalnya digunakan untuk melakukan kontrol pada lingkungan masyarakat paling bawah, yang sekarang kita kenal dengan Istilah Rukun Tetangga dan Rukun Warga.

Tujuan utama Jepang menguasai Indonesia hanya untuk memanfaatkan keuntungan terhadap sumber daya alam dan manusia terlihat dari apa yang diberlakukan. Tujuan utamanya dalah menggunakan Indonesia sebagai benteng pertahanan perang terhadap Sekutu. Pemuda berumur 18 hingga 25 tahun akan dilatih kemiliteran Seinendan dan pemuda berumur 25 hingga 36 dilatih keibondan. Gerakan ini merupakan langkah awal mempersiapkan pemuda Indonesia untuk dijadikan prajurit cadangan dalam perang Jepang nantinya. Jepang juga mewajibkan semua masyarakat bisa berbudaya Jepang dan berbahasa Jepang. Guru-guru laki-laki dan perempuan pribumi di kirim ke Jakarta (sebelumnya Batavia) untuk berlatih bahasa Nipon, Olahraga, Budi pekerti, adat istiadat dan lain sebagainya yang nantinya akan diajarkan kepada pelajar seluruh Indonesia. Sehingga dalam waktu 6 bulan saja masyarakat telah bangsa Indonesia telah berganti sikap dan sifat.

Disaat perang pasifik berkecamuk, tentara Jepang banyak membutuhkan sokongan bahan makanan dan bahan logam untuk mendukung perang mereka. Pertanian-pertanian menggunakan cara Jepang untuk melipat gandakan hasil pertanian. Agar padi selalu tersedia untuk tentara yang sedang berperang. Kejadian ini mengakibatkan masyarakat Banyumas justru menderita kelaparan dengan jumlah yang jauh lebih banyak dari jumlah kelaparan pada masa Maleise antara tahun 1933 - 1936 di Kabupaten Banyumas. Untuk mendukung pengairan pada sawah-sawah yang sedang di maksimalkan produksinya, Jepang membangun selokan Banjaran dari desa Pegalongan ke desa Sokawera dan pembuatan irigasi di jatilawang menggunakan sungai Tajum di desa Tipar Kidul. Masyarakat juga diharuskan untuk menanam Jarak dan kapas, meski sebenarnya tanaman kapas tidak cocok ditanam di daerah Banyumas. Pabrik gula Kalibagor yang biasanya menggiling tebu disulap menjadi pabrik minyak jarak yang akan digunakan sebagai bahan bakar pesawat. Propaganda Jepang dalam kebutuhannya menyediakan tentara perang selalu menggunakan kata-kata pasukan sukarela pembela tanah air, sehingga perekrutan pemuda untuk dijadikan PETA (Pasukan Pembela Tanah Air) berjalan dengan sukses di Banyumas, banyak guru dan polisi yang bergabung menjadi tentara. Selain itu Jepang juga membuat pasukan cadangan yang disebut sebagai HEIHO.

Perang di benua Eropa telah berhasil dihentikan setelah kekalahan Jerman dengan ditandatanganinya instrumen penyerahan diri pada 8 Mei 1945, Sekutu juga telah menawarkan kepada Jepang untuk menyerah tanpa syarat, namun Jepang menolaknya. Sehingga perang Pasifik yang juga menggunakan Indonesia sebagai benteng pertahanan tetap berlangsung. Pada tanggal 26 Juli 1945 melalui Deklarasi Posdam bersama Amerika, Inggris dan RRC namun Jepang tetap mengabaikan ajakan perdamaian tersebut. Sehingga kemudian Sekutu menjatuhkan bom atom uranium dengan kode Litlle Boy menggunakan pesawat B-29 Enola Gay di kota Hirosima pada tanggal 6 Agustus 1945 dan 3 hari kemudian menjatuhkan bom plutonium berkode Fat Man dijatuhkan di kota Nagasaki. Ini sebuah pukulan hebat bagi Jepang karena dalam waktu lima hari sekitar kurang lebih 250.000 penduduk Jepang kehilangan nyawanya. Di Jakarta kabar tentang kekalahan Jepang sudah tersiar kamana-mana, namun rupanya tentara-tentara Jepang yang berada di Pedalaman mereka belum mendapatkan kabar dan berniat menarik pasukannya.